UA-66241364-1 2015 ~ LOVE SUMBAWA

Istana Dalam Loka

Istana Dalam Loka merupakan peninggalan bersejarah dari kerajaan yang berlokasi di kota Sumbawa Besar. Dalam Loka dibangun pada tahun 1885 oleh Sultan Muhammad Jalalludin III (1883-1931).

Pulau Moyo

Pulau Moyo merupakan salah satu objek wisata yang indah dan eksotis dari sekian banyak objek wisata yang berada di pulau Sumbawa. Pulau dengan luas kurang-lebih 32.000 hektar yang sebagian besar wilayahnya masih berupa hutan dan pantai yang alami dengan berbagai hewan yang hidup di dalamnya ini terletak sekitar 2.5 KM sebelah utara Pulau Sumbawa..

Tanjung Menangis / Ai Loang

Pantai ini memiliki keunikan dan keistimewaan yang mempesona. Salah satu ciri khas pantai tanjung menangis adalah Hamparan pasir putih, panorama sunset over the sea dan terumbu karang yang masih terjaga.

Kisah Inspiratif Pemuda Sumbawa

Metrotvnews.com, Jakarta: Muda, kreatif, dan pekerja keras. Sekilas terlihat pada sosok anak muda putra daerah Sumbawa. Belum lulus kuliah saja dia sudah mampu meraup untung puluhan juta rupiah layaknya bos kantoran.

Festival Moyo

Even tahunan bagian dari upaya Pemerintah Kabupaten Sumbawa mengkampanyekan pariwisata Pulau Sumbawa. Selain itu, mempublikasikan keanekaragaman dan kekayaan Tana Samawa (daerah Sumbawa) kepada masyarakat luar, baik nasional maupun internasional.

Sunday 16 August 2015

Budaya Sumbawa - Sastra Jontal

a[1]

SATERA JONTAL

SEJARAH SATERA JONTAL
Satera jontal merupakan alat komunikasi yang diwujudkan berbentuk lambang, yang di mana setiap lambang tersebut memiliki arti sendiri. Dinamakan satera jontal, karena tulisan in banyak dituliskan di atas Jontal Atau Daun Lontar. dan Satera merupakan sastera dalam bahasa Indonesianya. Daun lontar merupakan tanaman yang banyak tumbuh didataran sumbawa. Untuk menulis Satera Jontal bukan menggunakan tinta, namun bara apilah yang digunakan untuk menggores permukaan lontar tersebut sehingga berbentuklah kalimat.
Peninggalan Satera Jontal masih ada di Sumbawa, dan itu merupakan barang sejarah yang harus di lestarikan. Yang sangat disayangkan adalah generasi muda sumbawa sekarang masih awam dengan satera jontal ini.
A. Hijaz HM, mengatakan Hasil penulisan satera jontal yang ditulis dalam sisir daun lontar, disusun tiga yang dinamakan Bumung. Cerita dari nenek moyang secara turun temurun, tulisan-tulisan di bumung tersebut berisikan cerita mengenai gelar dan keturunan kerajaan, Dea Datu, syair pujian ( lawas pamuji), semacam mantera untuk ilmu kebatinan ( pangeto), dan segala macam nasehat-nasehat untuk kehidupan.
Menurutnya, Satera Jontal ini dibawa oleh pedagang dari bugis makasar. Namun dalam perkembangannya, pengucapan dan logatnya mengalami perubahan sesuai dengan kegunaan dan wilayah masing-masing, sehingga ada satera jontal Ano Rawi (KSB) dan Ano Siyop ( Sumbawa timur). Namun demikian tidak ada perdebetan tentang Satera Jontal karena para ahli bahasa Sumbawa sepakat bahwa perbedaan tersebut adalah kekayaan budaya tana Samawa.
Satera Jontal juga memiliki beberapa kesamaan dengan Aksara Bugis
Aksaara_Bugis[1]
Aksara Bugis
satera%2BjontalE[1]
Satera Jontal
Seiring perkembanganya IPTEK, Satera Jontal di Sumbawa saat ini hampir punah. Budayawan muda Sumbawa Syukri Rahmat S.Ag merasa prihatin, Karena sebagian besar masyarakat Sumbawa tidak mengenali huruf daerahnya dan tidak paham sama sekali yang namanya Satera Jontal.
Dalam Kaitannya dengan Budaya dan Pariwisata, Pemerintah harus membuat Trade mark atau khas Sumbawa yang tidak ada di Daerah lain. Hal ini dimaksudkan agar tamu yang datang ke Sumbawa, ketika melihat Sumbawa, melihat sesuatu yang baru, melihat sesuatu yang unik yang tidak terdapat di Daerah lain.
MEMPELAJARI SATERA JONTAL
Sebenarnya bila kita ingin mempelajari Satera Jontal ini sangat gampang, namun hanya saja kita jarang di kenalkan atau melihat Satera Jontal di dalam kehidupan kita. Maka dari sekarang kita akan belajar Satera Jontal:
Dasar[1]
Dasar Dari Satera Jontal
Huruf
Huruf Satera Jontal
Nah kawan mungkinb sekian dulu yah dari saya…
Ingat budayakan budaya kita
“Suatu Duku Bangsa Akan Mati Apabila Budayanya Mati”

Sumber: https://yogaadiseptiyan.wordpress.com/

Budaya Sumbawa - Adat Perkawinan


Prosesi Pernikahan Tau Samawa atau masyarakat Sumbawa sebenarnya tidaklah jauh berbeda dengan masyarakat lain di Indonsia. Namun tentu adat istiadat yang menyertai prosesi itu sangat berbeda dan punya keunikan tersendiri.
Dahulu sepasang calon pengantin tidak pernah saling mengenal satu sama lain dan jodoh mereka diperoleh dari pemberian atau keinginan orang tua. Cara ini dikenal dengan sebutan “ Samulung “ atau dijodohkan oleh kedua orang tua masing-masing. Sebelum terjadi kecocokan atau kesepakatan antara kedua orang tua, pihak laki-laki akan melakukan penjajakan terhadap si gadis, mungkin dia sudah dijodohkan oleh orang tuanya dengan pria lain. Prosesi ini dikenal dengan “ Bajajak “. Ketika dipastikan si gadis tidak di Samulung-kan oleh orang tuanya dengan pria lain, maka orang tua si pria akan datang menemui orang tua si gadis menyampaikan keinginan nya untuk menikahkan putranya. Cara ini dikenal dengan istilah “ Olo Leng “ sekaligus mengikat kedua anak-anak mereka agar tidak dijodohkan dengan orang lain.
“ Olo Leng “ ini merupakan pra meminang dari orang tua si pria. Baru setelah ada kesiapan terutama materi atau biasanya sesudah panen, orang tua si laki-laki akan mengutus orang lain untuk secara resmi melamar si gadis atau yang dikenal dengan “ Bakatoan “. Ketika lamaran itu diterima maka biasanya diteruskan atau selang beberapa hari dengan “ Basaputis “ yakni memutuskan segala sesuatu yang berhubungan dengan rencana pernikahan kedua putra-putri mereka. Dalam “ Basaputis “ inilah sering terjadi tawar menawar antara kedua belah pihak bahkan bisa berakibat batalnya rencana pernikahan itu ketika orang tua dan keluarga si gadis meminta atau “ Mako “ sesuatu yang tidak bisa dijangkau oleh orang tua si laki.
“ Pe-Mako “ atau permintaan orang tua si gadis meliputi “ Pipis Belanya “ ( sejumlah uang ) kemudian “ Isi Peti “ ( berupa emas perhiasan ) “ Isi Lemari ( pakaian si gadis,mulai dari sandal hingga sanggul rambut ) dan “ Soan Lemar “ ( berupa beras,gula,minyak,kayu bakar dll termasuk seekor kerbau atau sapi ). Semua ini akan dipergunakan untuk menopang prosesi perkawinan yang dilaksanakan ditempat si gadis.
Setelah semua beres, maka ditentukanlah hari baik untuk memulai prosesi ini. Diawali dengan “ Barodak “ calon pengantin atau bersamaan dilakukan dengan upacara “ Nyorong “.
Prosesi Barodak - Budaya Sumbawa
“ Barodak “ kira-kira sama dengan luluran di Jawa. Di Sumbawa mengunakan bedak tradisional yang dibuat khusus oleh orang khusus pula dan biasanya seorang wanita. Orang inilah yang nantinya akan menjadi “ Ina Odak “ atau ibu asuh calon pengantin wanita selama prosesi perkawinan ini.
Sementara “ Norong “ ; adalah sebuah upacara adat yang melibatkan banyak orang dari pihak laki-laki. Apa yang sudah diputuskan dalam acara “Basaputis” sebelumnya akan diantarkan ke pihak wanita melalui upacara Adat Nyorong ini. Disinilah bahasa-bahasa puitik Tau Samawa yang dikenal dengan sebutan “ Lawas “ di “ Sier ) atau dilantunkan oleh kedua belah pihak. Rombongan dari pihak laki-laki tidak akan diizinkan masuk ketempat upacara apabila tidak bisa melantunkan bait-bait Lawas. Pintu masuk yang disebut dengan “ Lawang Rare “ pun ditutup.
Prosesi Nyorong - Budaya Sumbawa
Lawas Pihak Pria :
Kamu Pesan Kami Datang ( Kalian Undang Kami Datang )
Lawang Mu Purat Ke Barit ( Mengapa Pintu Ditutup )
Ya Mu Ano Ke Nyonde Ta. ( Panas Lah Kami Semua )
Kira-kira itulah bait-bait awal Lawas pihak laki-laki yang tentu saja diterima dengan lawas oleh pihak wanita:
Malema Sempu Malema ( Mari Kerabat Marilah )
Sapuan Mo Le Ku Tari ( Sudah Lama Kami Menunggu )
Tutu Lampa Ka Leng Tutu ( Benar Juga Kata Terucap )
Itulah serangkaian acara pada upacara Nyorong dan dilanjutkan dengan serah terima secara simbolis semua barang-barang bawaan pihak laki-laki berupa Pipis Belanya,Isi Peti,Isi Lemari dan Soan Lemari.
Selain itu ada simbol-simbol yang mengandung falsafah dari upacara Nyorong ini. Pihak laki-laki biasa nya menghiasi kendaraan mereka dengan beberapa batang Tebu yang melambangkan keperkasaan seorang pria. Sedangkan dirumah calon pengantin wanita biasanya akan terlihat sebatang pohon pisang, symbol sebuah nasehat;
Mara Punti Gama Untung
Den Kuning No Tenri Tana 
Mate Bakolar Ke Lolo
Lawas diatas menontohkan pohon pisang. Walau dahannya menguning, takkan jatuh ke tanah. Sampai mati pun tetap bersama
Ahmad Zuhri Muhtar
Sumber: http://www.sumbawanews.com/node/5186

Sejarah Sumbawa - Kelebat Istana Dalam Loka


Tana Samawa, begitu orang-orang menyebut alam yang terkembang ini. Penduduknya, yang disebut Tau Samawa, berdiam di kaki-kaki bukit dan pesisir-pesisir pantai.
Pada mulanya, Tana Samawa, yang disebut Sumbawa, adalah negara berbentuk kesultanan. Teritorinya meliputi lebih dari separuh pulau Sumbawa. Dan hari ini, Sumbawa menjadi wilayah Indonesia dengan status kabupaten di Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Seperti halnya di wilayah-wilayah lain, Sumbawa juga merupakan negeri Melayu dengan pengaruh dari Bugis. Berbagai atribut yang digunakan masyarakat memang atribut Melayu, seperti senjata, pakaian, penamaan gelar, atau rumah panggung. Di antara jejak kebesaran negeri ini terletak pada istananya yang bernama Dalam Loka. Istana Dalam Loka yang juga berbentuk rumah panggung ini bahkan disebut-sebut merupakan rumah panggung terbesar di dunia.

Istana yang dibangun pada 1885 ini memiliki makna yang merujuk pada Islam hampir di seluruh lekak lekuknya. Bahkan, pemaknaan itu sudah dimulai dari masa pembangunannya, yakni selama sembilan bulan 10 hari, yang sesuai dengan masa kandungan lahirnya manusia. Adapun arsitek dari istana ini adalah salah seorang ulama besar Taliwang (Sumbawa Barat sekarang).
Hasanuddin, Wakil Ketua Lembaga Adat Tana Samawa, mengatakan bahwa masa pengerjaan itu memang sesuai dengan zamannya. Saat itu, Sumbawa sedang menghadapi datangnya sebuah era baru, yang ditandai dengan makin sempurnanya bentuk dan struktur pemerintahan.
Selain masa pembangunan, makna juga terdapat pada bagian lain dari istana ini. Sebut saja bentuk bangunannya yang beratap kembar dengan satu tangga yang tidak persis berada di tengah. Hal ini memang dirujukkan pada salah satu bagian dari salat, yakni gerakan jari saat tahyatul (mengangkat jari telunjuk sementara jari lain tergenggam tak penuh).
Pucuk dari tangga yang berbentuk tanduk kerbau juga melambangkan pemaknaan tertentu. Kerbau ini diperoleh dari Sulawesi Besar yang memberikan pengaruhnya yang kuat terhadap Sumbawa. Kerbau dipandang sebagai simbol makhluk yang memiliki kekuatan dan bersifat gaib.
Sementara itu, tiang-tiangnya sendiri berjumlah 99 buah. Angka ini merujuk pada nama-nama Allah yang juga berjumlah sama. Maksudnya, siapapun sultan, pimpinan, atau pejabat Sumbawa semestinya mensifati dirinya dengan sifat-sifat Allah, seperti bijaksana, mengasihi, dan menjadi rahmat bagi rakyat.
Short URL: http://www.lenteratimur.com/?p=6883



Sejarah Sumbawa - Masuknya Islam di Pulau Sumbawa


Sebagaimana kita ketahui bersama sejarah pemerintahan dipulau Sumbawa adalah sejarah yang telah jauh mengakar dalam sejarah nusantara berabad –abad lamanya dan  telah berinteraksi denga dunia luar  hal ini diketahui dengan tercantumnya nama-nama Sumbawa, Bima dan Dompu dalam kitab Negara Kertagama yang ditulis tahun 1365 M. Tidaklah mengherankan jika dalam catatan perjalanan seorang Portugis bernama Tome Pires pada tahun 1513 disebut pelabuhan Sumbawa dan Bima sebagai pelabuhan persinggahan kapal-kapal yang berlayar ke Timur untuk membeli hasil bumi. Sehingga hal ini menjadi salah satu factor mudahnya Islam masuk kepulau Sumbawa dari jalur perniagaan melalui laut.
Berbicara tentang masuknya Islam di Indonesia pada umumnya dan pulau sumbawa pada khususnya tentunya tidak lepas dari peran para ulama sekaligus  pelaku niaga yang mnyebarkan Islam dengan cara damai sambil melakukan perniagaan dengan masyarakat setempat.
            Masuknya Islam di pulau Sumbawa terjadisejak abad ke XVI tepatnya antara tahun 1540-1550 M. Pada umumnya melalui dua jalur. Jalur pertama melalui para mubaligh dan pedagang dari Demak karena saat itu Demak menjadi pusat penyebaran Islam di Asia Tenggara menggantikan posisi Malaka yang sudah di taklukan oleh penjajah Portugis pada tahin 1511M.
            Jalur kedua melalui para mubaligh dan pedagang dari Sulawesi. Pada tahun 1623 Sultan Alauddin Raja Gowa yang masuk Islam pada tahun 1603 melakukan ekspansi mencari cadangan pangan untuk rakyatnya hingga ke pulau Sumbawa.

Cahaya Islam Menembus Sumbawa
            Pelabuhan-pelabuhan di Sumbawa sejak dulu terkenal sebagai lalulintas perniagaan baik dari Jawa maupun Sulawesi. Pada masa Sunan Giri menyebarkan Islam di tanah Jawa beliau juga mengirimkan utusan (Mission sencree) untuk menyebarkan Islam ke Timur Indonesia (luar pulau Jawa) sambil melakukan perniagaan. Salah satu muridnya yan diutus ke Smbawa dikenal dengan nama Zainul Abidin.
            Di dalam Buk Tuan Jurutulis (Sekretaris Kerajaan), diceritakan pula tentang seorang pemuka Sumbawa yang sering melakukan pelayaran dan mengisahkan pada masyarakat tentang Kerajaan Demak yang aman dan tenteram dan akhirnya masyarakat mengutusnya untuk belajar disana agar kemudian ketika kembali dapat mengamalkan ilmunya untuk membangun masyarakat sumbawa.Sekembalinya dari Demak beliau datang dengan seorang mubaligh yang juga seorang pangeran.
            Pada tahun 1623 Sultan Alauddin Raja Gowa melakukan ekspansi mencari cadangan pangan hampir keseluruh pulau Sumbawa dibarengi dengan penyebaran agama Islam karena beliau telah memeluk agama Islam sejak 1603. Tercatat pula dalam sejarah untuk kepentingan dagang Sultan Hasanuddin pada tahun 1650 telah mempersatukan Sumbawa dengan Makassar dan menyatakan seluruh Sumbawa telah memeluk agama Islam.
            Dalam Buk (catatan kerajaan Sumbawa) dinyatakan bahwa raja-raja di Sumbawa yang wafat pada permulaan penyebaran Islam dan mula-mula memeluk Agama Islam ialah : Dewa Lengit Ling Baremang (Utan), Dewa Lengit Ling Kartasari (Taliwang), Dewa Maja Paruwa (yang membuat perjanjian damai dengan Gowa) dan Dewa Lengit Ling Utan.
            Dengan masuk dan diterimanya Islam oleh kerajaan maka berubah pula sistem pemerintahan kerajaan dengan berdasarkan syariat agama Islam dan kerajaan berubah menjadi Kesultanan. Sultan pertama pada kerajaan Sumbawa yaitu Sultan Harunurrasyid yang dikalangan rakyatnya dikenal dengan sebutan Dewa Dalam Bawa.
            Kemudian penyebaran agama Islam di Sumbawa beriringan dengan Sultan yang memerintah Kesultanan Sumbawa berikut :
  1. Sultan Harunurrasyid I (1674-1702)
  2. Sultan Jalaluddin Muhammad Syah I (1702-1725)
  3. Sultan Muhammad Kaharuddin I (1733-1758)
  4. Sultan Siti Aisyah (1759-1760)
  5. Datu Ungkap Sermin (1761-1762)
  6. Sultan Muhammad Jalaluddin Syah II (1762-1765)
  7. Dewa Mepaconga Mustafa (1765-1776)
  8. Sultan Harunurrasyid II (1777-1790)
  9. Sultan Shafiatuddin ( 1791- 1795)
  10.  Sultan Muhammad Kaharuddin II (1795-1816)
  11. Sultan Amrullah II (1836-1882)
  12. Sultan Muhammad Jalaluddin III (1883-1931)
  13. Sultan Muhammad Kaharuddin III (1931-1958)
Jejak penyebaran Islam ditanah samawa dapat dilihat dari beberapa peninggalan sejarah diataranya : Istana Dalam Loka, Makam Sampar. 


Cahaya Islam Menembus Dompu
            Pengaruh Islam masuk ke Dompu sejak 1628 namun sebelumnya telah masuk sedikit demi sedikit  sejak 1528. Ulama yang dikenal menyebar Islam di dompu yaitu Syekh Abdul Gani yang juga menyebarkan Islam di Pulau Lombok dan pernah menjadi Imam Masjid di Masjidil Haram Makkah.
Sekitar 1528 Syekh Nurdin Ulama keturunan arab menginjakkan kaki di Dompu untuk menyebarkan agama Islam sambil berdagang. Pada saat itu kerajaan Dompu dipimpin Raja Bumi Luma Na’e bergelar Dewa Ma Waa Taho dan masih dibawah penguasaan Majapahit.
Kemudian Putri raja memeluk Islam dan menikah dengan Syekh Nurdin dan berganti nama menjadi Siti Hadijah, dikaruniai 3 orang anak yaitu Abdul Salam, Abdullah dan Joharmani.
Pada Tahun 1545 Raja La Bata Na’e menggantikan ayahnya Raja Bumi Luwu Nae. Beliau sebelumnya belajar Islam di Kerajaan Bima, Kerajaan Gowa Makassar dan tanah Jawa. Pada masa ini Islam menjadi agama resmi kerajaan dan beliau menjadi Sultan Pertama Kesultanan Dompu bergelar Sultan Syamsuddin dan menikah dengan Joharmani. Sedangkan Syekh Abdul Salam menjadi Ulama Istana kesultanan Dompu.
Pada tahun 1585 datang dan menetap saudagar sekaligus ulama Islam kedompu yang menyebarkan Islam, mereka adalah : Syekh Hasanuddin (Sumatera) yang kemudian oleh Sutan Syamsuddin diangkat menjadi salah seorang Qadi (jabatan setingkat menteri agama di Kesultanan), Syekh Abdullah (Makassar) dan Syekh Umar Al-Bantani (Madiun) dipercaya menjadi Imam Masjid di Kesultanan Dompu.
Sejak saat itu Dompu menjadi kesultanan yang diperintah oleh seorang Sultan dengan sistem pemerintahan berdasarkan agama Islam. Berikut Sultan Sultan Dompu yang banyak memberi andil dalam penyebaran Islam di Dompu :
1. Sultan Syamsuddin La Bata Na.E(1545)
2. Sultan jamaluddin .Manuru Doro Ngao(1640)
3. 
Sultan Sirajuddin.Manuru Bata(1640-1682).
4. Sultan Ahmad bergelar Manuru Kilo(1682-1686).
5. Sultan Abdul Rasul bergelar manuru Laju(1686-1701).
6. Sultan Usman Manuru Goa(1701-1702)..
7 Sutan Ahmad Syah bergelar Manuru Kempo(1702-1717).
8 Sultan Abdu Kadir Mawaa Alus(1717-1727).
9. Sultan Samsudin bergelar Mawaa Sampela(1727-1737).
10. Sultan Kamaludin. (1737)
11. Sultan Abdul Kahar Manuru Hidi. 
(1737-1746)
12. Sultan Abdurahman bergelar Manuru kempo II. (1746-1748)
13. Sultan Abdul Wahab bergelar Mawaa Cau. (1749-1792)
14. Sultan Abdulah bergelar Mawaa Saninu.(1793-1798)
15. Sultan Yakub bergelar Negeri Mpuri.(1798-1799)
16. Sultan Abdulah Tajul Arifin I bergelar mawa`a Bou. (1799-1801)
17. Sultan Abdul Rasull II bergelar Manuru Bata.(1801-1857)
18. Sultan Muhamad Salahudin Mawaa adi. (1857-1870)
19. Sultan Abdulah II bergelar Mambora Bara Ncihi Ncawa. (1871-1882)
20. Sultan Muhamad Sirajudin bergelar Manuru Kupa. (1882-1934)
21. Sultan Muhamad Tajul Arifin bergelar Mawaa Sama (Ruma Toi). (1947-1958).
Bukti peninggalan sejarah Islam di Dompu antara lain dapat di lihat dengan berdirinya Masjid Agung Baiturahman ( Masjid Raya Dompu) yang dahulunya lokasi tersebut adalah Istana Kesultanan Dompu dan makam Sultan Dompu di depan Masjid tersebut..


Cahaya Islam Menembus Bima
            Islam  mulai masuk ke Bima pada masa akhir Kerajaan Bima antara tahun 1540-1550 melalui mubaligh dan pedagang Demak. Mengingat Bima merupakan jalur perniagaan bagian selatan wilayah nusantara dan sejak abad XV pada masa Raja Manggampo Donggo Kerajaan Bima mencapai puncak kejayaannya bahkan pada masa Raja Ma Wa’a Ndapa telah berperan dalam percaturan niaga internasional yang berpusat di sunda kelapa (Jakarta) dan bima telah memiliki perkampungan khusus di sana.
Waktu tepatnya adalah pada masa pemerintahan Sunan Prapen putra Sunan Giri karena saat itu Demak giat melakukan penyiaran Islam di wilayah Indonesia Timur.
Penyebaran Islam pada masa Sunan Prapen tidak berlangsung lama dan pengaruhnya tidak begitu kuat  karena runtuhnya kerajaan Demak akibat Revolusi istana yang berakibat pada gugurnya Sultan Tranggano tahun 1546.
Kemudian pada 1617 (1028H) ditulis di dalam BO (Catatan Lama Istana Bima) para pedangang Sulawesi datang menyebarkan Islam di Bima. Saudagar Daeng Mangali tiba dipelabuhan Sape  bersama orang Luwu, Tallo dan Bone dan menghadap Ruma Bumi Jara yang memegang Sape  mengantar sepucuk surat dari Ruma Bumi Jara di Bone yang mengabarkan bahwa Kerajaan Gowa, Tallo, Luwu dan Bone sudah memeluk Islam. Kemudian pada 10 Rabiul awal 1030 H (1619 M) empat orang petinggi Kerajaan Bima sepakat memeluk agama Islam dan berganti nama menjadi nama Islam :
-          La Kai ( Ruma Ta Ma Bata Wadu) menjadi Abdul Kahir yang kemudian menjadi Sultan Pertama Kesultanan Bima
-          La Mbila menjadi Jalaluddin
-          Bumi Jara Mbojo Sape menjadi Awaluddin
-          Manuru Bata menjadi Sirajuddin yang kemudian menjadi sultan Dompu.
Karena pergolakan politik di Istana Abdul Kahir dan Jalaluddin  hijrah ke Makassar  dan memperdalam Islam disana dibawah asuhan para ulama kelahiran Minang yaitu Datuk Di Bandang dan Datuk Di Tiro.
Kemudian setelah menimba Ilmu agama Islam dengan di bantu Kesultanan  Makassar Abdul Kahir dan Jalaluddin melakukan ekspedisi bersenjata untuk merebut kembali Kerajaan Bima dari pemberontak dalam rombongan tersebut ikut pula Datuk Di Bandang dan Datuk Di Tiro yang akan membantu Abdul Kahir menyebarkan Islam ditanah Bima dan sekitarnya.
Setelah tiga bulan keberhasilan ekspedisi tersebut, tepatnya 15 Rabiul Awal 1050 H (1640 M) Abdul Kahir dinobatkan sebagai  Sultan I Bima dengan gelar Ruma Ta Ma Bata Wadu sedang Jalaluddin menjadi Ruma Bicara (Perdana Menteri ) pertama dengan gelar Manuru Suntu.
Dengan penobatan ini menjadi titik akhir sejarah kerajaan Bima dan berganti menjadi babak baru Kesultanan Bima. Mulai saat itu Bima mengamalkan falsafah dan aturan kesultanan bersasarkan agama Islam.
Kesultanan Bima kemudian berdiri dan berpacu menyebarkan agama Islam hingga akhir masa kesultanan bima tahun 1951. Adapun Sultan Kesultanan Bima yang memiliki Andil dalam penyebaran Islam di Bima dan sekitarnya sebagai berikut :
  1. Sultan Abdul Kahir (1640)
  2. Sultan Abil Khair Sirajuddin (1640-1682)
  3. Sultan Nuruddin Abubakar Ali Syah (1682-1687)
  4. Sultan Jamaluddin (1687-1696)
  5. Sultan Hasanuddin (1696-1731)
  6. Sultan Alauddin Muhammad Syah ((1731-1742)
  7. Sultan Abdul Kadim (1743-1773)
  8. Sultan Abdul Hamid (1773-1819)
  9. Sultan Ismail (1819-1854)
  10. Sultan Abdullah (1854-1868)
  11. Sultan Abdul Aziz (1868-1881)
  12. Sultan Ibrahim (1881-1915)
  13. Sultan Muhammad Salahuddin (1915-1951)
Saksi sejarah yang merupakan bukti sejarah penyebaran Islam di Bima dapat di lihat berupa Museum Asi Mbojo ( dahulunya adalah Istana Kesultanan Bima), Masjid Kesultanan Bima, Makam Sultan pertama Bima Sultan Abdul Kahir di Dana Taraha, Makam Sultan Abil Khair Sirajuddin dan Nuruddin Abubakar Ali Syah di Tolomundu dan Makam-makam sultan lainnya yang masih dalam kompleks Masjid Kesultanan Bima.

Mataram, April 2010

IWAN Wahyudi


Sumber: http://iwan-wahyudi.com/

Sejarah Sumbawa - Panglima Mayu Penjaga Laut Sumbawa

Panji atau Bendera LIPAN atau LIPAN API merupakan Bendera Perang Kesultanan Sumbawa. Bendera ini Selalu dibawa manakala pasukan Bala Cucuk menunaikan tugas pengamanan wilayah kesultanan dari ancaman musuh. Dewasa ini Bendera asli disimpan oleh pak Makadia keturunan dari Panglima Mayo sebagai hadiah dari Sultan Sumbawa karena berhasil sebagai penakluk perompak dan bajak laut yang mengganggu perairan Sumbawa

Banyak kisah yang menjadi catatan para pelaku sejarah di Kabupaten Sumbawa khususnya tentang gerak kiprah pembantu-pembantu Raja dalam mengawal daerah nya menjadi wilayah yang disegani. Haji M. Zain Anwar ( alm ) misalnya, adalah salah seorang pelaku sejarah yang memiliki sejumlah catatan tentang Sumbawa antara lain bagaimana hebatnya bala tentara kerajaan Sumbawa ketika melawan bajak laut yang selalu mengganggu dan meresahkan.
Konon dahulunya perairan Sumbawa banyak dikuasai oleh bajak laut yang berlindung di Teluk Saleh bahkan konon pula mereka dilindungi oleh Raja Kempong Dompu. Banyak pedagang yang berlayar ke Sumbawa dirompak ditengah laut baik itu yang datang dari Sulawesi, Kalimantan dan sebagainya. Mereka lalu mengadu kepada Sultan Sumbawa agar bagaimana para bajak laut itu bisa dilumpuhkan.
Tersebutlah seorang pelaut ulung dari Pulau Bungin yang memiliki kedekatan pribadi dengan Sultan dan keluarganya. Ia dijuluki Panglima Mayu karena ia adalah Panglima Perang Tentara Laut Kerajaan Sumbawa. Panglima Mayu dikenal sebagai orang yang tidak banyak omong dan setiap titah Raja selalu dipatuhi dan dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab. Nama Panglima Mayu sudah dikenal hingga ke Negeri Aceh dan Banjar bahkan pula di kerajaan-kerajaan yang berada di Sulawesi. Siapapun yang ingin menganggu kedaulatan laut kerajaan Sumbawa akan berpikir seribu kali jika mengetahui Panglima Mayu berpatroli disepanjang garis pantai.
Sebelum diangkat menjadi Panglima Tentara Laut Kerajaan Sumbawa Daeng Mayu ..begitu ia akrab dipanggil, hanya mengawal perairan bagian barat Sumbawa khususnya pulau-pulau kecil yang berada dikawasan itu. Satu ketika ia sempat adu kekuatan dengan sekelompok orang di Pulau Panjang. Mereka dikenal sebagai perampok-perampok kecil oleh masarakat disekitar itu. Semua hasil tangkapan ikan masarakat dirampok bahkan sampan-sampan pun mereka ambil.
Ketika seorang warga Bungin pulang dari melaut dengan cara berenang, ributlah orang sekampung dan mereka langsung menyebut para perampok di Pulau Panjang sebagai biang keladinya. Itu pun mereka harus bersukur jika hanya ikan hasil tangkapan dan sampannya saja yang diambil. Karena juga sering terjadi para nelayan itu dibunuh oleh perampok itu.
Seorang Mayu lalu mengumpulkan warga dan bersepakat membuat semacam kelompok kecil untuk menghajar para perampok itu. Suatu hari berangkatlah Daeng Mayu bersama rekan nya menyusuri pantai kemudian mengelilingi Pulau Panjang dengan berbekal 3 buah sampan layar. Dua hari dua malam kisah mencari perampok ini dilakukan Daeng Mayu dan teman-teman nya namun pulau Panjang dianggap aman saat itu.
Ketika angin mulai bertiup kencang dan kelompok Mayu berniat kembali ke Bungin terlihatlah oleh mereka sejumlah orang di Gili ( Pulau ) Kalong tidak jauh dari Pulau Panjang. Ketika didekati dan turun di pantai orang-orang itu tidak dikenal nya hanya sampan yang mereka pakai dikenali sebagai milik masarakat Bungin yang beberapa waktu lalu dirampoknya.
Perampok itu melakukan perlawanan terhadap Daeng Mayu dan rekan-rekannya. Namun mereka ternyata tidak bisa menandingi kemampuan bela diri dari Daeng Mayu dan kawan-kawan. Peristiwa itu berakhir dengan tewasnya para perampok tsb. Dan sejak saat itu Gili Rakit seperti diharamkan oleh masarakat untuk mendatanginya,karena disitulah para perampok itu dikuburkan. Ditambah lagi dengan cerita-cerita yang berkembang, bahwa ditempat itu selalu terdengar suara orang berteriak dan mengerang kesakitan seperti ketika mereka dihajar kelompok Daeng Mayu.
Daeng Mayu memiliki ilmu bela diri yang tidak dimiliki orang lain saat itu. Ia juga jago dalam ilmu kebal, memanah dan bertarung dibawah laut. Ia sanggup tinggal berjam-jam lamanya didasar laut. Jadi jangan heran kalau sebagian masarakat Bungin dikenal juga sebagai penyelam. Semua itu adalah kemampuan yang diturunkan oleh Daeng Mayu kepada anak keturunan nya kemudian diwarisi oleh masarakat lainnya sampai hari ini.
Sultan Sumbawa kala itu sudah mendengar kemampuan Daeng Mayu dan keluarga kerajaan sudah sering berkunjung ke Bungin. Tatkala Perairan Timur Sumbawa semakin terancam oleh para bajak laut, Daeng Mayu dipanggil ke Istana Raja Sumbawa. Ia diberi tugas untuk menumpas perompak atau bajak laut diperairan timur Sumbawa. Ketika itulah ia diangkat menjadi Panglima Perang dari Tentara Laut Kerajaan Sumbawa. Ia juga diberi hak untuk menggunakan bendera Perang “ Lipan Api “
Dalam melaksanakan tugasnya.
Panglima Mayu lalu membuat sejumlah perahu dan merekrut orang-orang yang dianggap pantas mendampinginya untuk memerangi para bajak laut itu. Dari sejumlah pertempuran yang terjadi diperairan timur Sumbawa semuanya dimenangkan oleh Panglima Mayu dan anak buahnya. Akan tetapi para bajak laut selalu lari menyelamatkan diri di Teluk Saleh diwilayah perairan Kerajaan Kempong Dompu. Lalu Raja Kempong diingatkan agar tidak melindungi para bajak laut tersebut. Namun Kerajaan Kempong tidak menggubris bahkan ketika diancam akan diserangpun tetap tidak mengindahkan peringatan Raja Sumbawa.
Akhirnya Kesultanan Sumbawa memutuskan untuk berperang dengan Raja Kempong yang memiliki wilayah hingga ke Kecamatan Empang sekarang. Melalui laut ditugaskan lah Panglima Mayu dan bala tentara nya. Begitu pula bala tentara yang menyerang lewat darat. Pertama Empang ditaklukkan setelah berhasil memukul mundur tentara Raja Kempong. Pertempuran terus berlangsung setiap harinya hingga akhirnya tentara Kerajaan Kempong bertahan di Desa Kwangko Dompu. Saat itulah Belanda turun tangan menengahi pertikaian ini dan perbatasan pun berubah ketempat pertahanan terakhir bala tentara Kerajaan Sumbawa yakni di perbatasan Sumbawa Dompu sekarang. Karena peristiwa itu pula sebagian wilayah dompu dicaplok oleh Sumbawa mulai dari Empang hingga ke Desa Mata sekarang.(bang mek)
Sumber: http://www.sumbawanews.com/node/9080

Friday 14 August 2015

Inspirasi Sumbawa - Air Mata Berbuah Mutiara, Ame' Di balik "Serdadu Kumbang"


"Serdadu Kumbang" Ya, siapa yang tidak tau film drama sumbawa yang mengisahkan ana SD di Salah satu daerah sumbawa. Jika murid-murid di hampir seluruh Indonesia banyak yang tidak lulus ujian nasional. Berbekal pengalaman itu, guru-guru SD & SMP 08 semakin memperketat sistem belajar dan mengajar. Namun penegakkan kedisiplinan yang kaku, menimbulkan dampak bagi murid-murid yang masih dalam usia pertumbuhan. Paling tidak bagi Amek, Acan dan Umbe.

Amek adalah salah satu murid dari sekian banyak murid SDN 08 yang tidak lulus ujian tahun lalu. Sebetulnya Amek adalah anak yang baik, namun sifatnya yang introvert, keras hati dan cenderung jahil, membuat ia sering dihukum oleh guru-gurunya disekolah. Sebaliknya Minun kakaknya, ia duduk dibangku SMP dan selalu juara kelas. Ia juga sering menjuarai lomba matematika sekabupaten. Sederet piala dan sertifikat berjejer diruang tamu mereka. Minun adalah ikon sekolah, kebanggaan keluarga dan masyarakat.


Di Kabupaten Sumbawa Barat, tepatnya di Kecamatan Poto Tano ada sebuah desa yang cukup terpencil bernama Desa Mantar, sedemikian terpencilnya sehingga handphone sering tidak ada sinyalnya di sana.
Di desa Mantar itu, tinggal 3 anak laki-laki kelas 6 SD yang bersahabat akrab yaitu Amek, Umbe dan Acan. Ketiga anak itu sering bermain dengan mainan berbentuk kumbang sehingga mereka dijuluki Serdadu Kumbang.

Sayangnya Amek, Umbe dan Acan sering membuat ulah di sekolah mereka sehingga sering dihukum oleh guru mereka yang paling galak yaitu Pak Alim. Gaya mengajar Pak Alim yang terlalu keras itu sering dikritik oleh para orang tua murid bahkan oleh tokoh agama Desa Mantar yaitu Papin (kakek) Haji Maesa.
Dalam prestasi akademis Amek, Umbe dan Acan juga termasuk kurang bahkan Amek yang menderita cacat yaitu bibir sumbing tidak lulus tahun sebelumnya.

Walaupun bandel dan kurang pintar tetapi Amek, Umbe dan Acan punya cita-cita. Umbe dan Acan pasti dengan bangga mengatakan cita-citanya yaitu sebagai Polisi dan Kyai, hanya Amek yang malu mengatakan cita-citanya karena cita-citanya itu sangat bertentangan dengan cacat bibir sumbingnya.

Di desa Mantar ada sebuah pohon tua dan besar yang diberi nama pohon cita-cita. Mengapa diberi nama Pohon cita-cita? Hal itu karena anak-anak desa Mantar punya kebiasaan yaitu menuliskan cita-citanya di sebuah kertas dan dimasukkan botol kemudian digantung di ranting-ranting pohon besar itu dengan harapan cita-citanya tercapai.
Lagi-lagi hanya Amek yang tidak mau menggantungkan botol berisi kertas bertulis cita-cita di pohon cita-cita itu karena takut ditertawakan (Apakah sebenarnya cita-cita Amek? Nanti saja saya ceritakan, makanya baca terus artikel ini ya.. hehehe...).

Pada 3 sahabat serdadu kumbang itu, Amek memang paling bandel dan paling jelek prestasi sekolahnya tetapi ia punya kelebihan yaitu mahir menunggang kuda sehingga sering menjadi juara lomba pacuan kuda bersama kuda kesayangannya yang diberi nama Smodeng.

Amek tinggal bersama ibunya yang bernama Siti dan kakak perempuannya yang bernama Minun sedangkan ayah Amek yaitu Zakaria sudah 3 tahun bekerja sebagai TKI di Malaysia. Zakaria sangat jarang mengirim uang dari Malaysia sehingga untuk membiayai kebutuhan keluarganya, Siti berjualan makanan.
Diceritakan bahwa Amek sangat rindu dengan ayahnya sehingga pernah nekad menukar anak kambingnya dengan handphone agar bisa menelepon ayahnya. Usaha Amek itu tentu saja gagal karena Amek hanya mampu membeli pulsa perdana seharga 5000 rupiah sehingga tidak bisa menelepon ke Malaysia.

Diceritakan juga bahwa kakak Amek yaitu Minun yang duduk di kelas 3 SMP sangat berbeda dengan Amek, Minun patuh pada orang tua dan cukup pintar sehingga langganan juara kelas bahkan ia pernah juara lomba matematika sekabupaten. Seperti kebiasaan anak-anak Desa Mantar, Minun juga menggantungkan botol berisi kertas bertuliskan cita-citanya di pohon cita-cita.
Selain itu, di sekolah Amek ada seorang guru wanita yang sangat baik kepada muridnya yaitu Bu Guru Imbok.

Sebagian besar bagian awal film ini memang menceritakan kenakalan Amek dan 2 sahabatnya tetapi ada juga yang menceritakan kebaikan Amek yaitu ketika ia menolong seorang pendatang di Desa Mantar bernama Ketut yang sepeda motornya mogok.
Amek membantu Ketut dengan menarik sepeda motornya yang mogok dengan Smodeng, kuda kesayangan Amek sehingga Ketut bisa sampai di tujuan.
Sebagai balas jasa, Ketut mengajak seluruh siswa di sekolah Amek berkunjung di ssebuah sekolah dasar di kota.

Saat yang dinantikan Amek akhirnya tiba, ayah Amek yaitu Zakaria akhirnya pulang. Tetapi kedatangan ayah Amek itu ternyata membawa masalah besar karena Zakaria menjual jam Rolex yang dibelinya dari Malaysia kepada seorang penjual jam di pasar seharga 4 juta rupiah.
Ternyata jam Rolex yang dijual Zakaria palsu sehingga si penjual jam meminta Zakaria mengembalikan uangnya. Celakanya Zakaria tidak bisa mengembalikan uang 4 juta itu karena sudah dipakai untuk membayar hutang akibatnya si penjual jam membawa pergi Smodeng, kuda kesayangan Amek.

Amek tentu saja sangat sedih dan histeris melihat kuda kesayangannya yang sudah sering memberinya piala lomba balap kuda itu dibawa pergi. Untung Minun kakak Amek ternyata sangat sayang kepada Amek sehingga ia rela menebus Smodeng dengan uang tabungannya yang rencananya akan dipakai untuk biaya melanjutkan pendidikan ke SMA.

Amek kembali menemukan semangat hidupnya tetapi masalah yang lebih penting menghadang yaitu ujian nasional sudah dekat.
Untung Bu Guru Imbok berhasil memotivasi Amek dan semua siswa kelas 6 di sekolahnya untuk belajar lebih giat agar bisa lulus ujian nasional.
Bu Guru Imbok memang benar-benar “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa”, di luar jam mengajar di sekolah, Bu Guru Imbok rela memberi pelajaran tambahan kepada siswa-siswa kelas 6 SD di Desa Mantar. Bahkan Bu guru Imbok juga mengajar membaca bagi orang-orang tua di desa Mantar yang masih buta huruf.

Sayangnya kemajuan siswa kelas 6 SD di Desa Mantar itu tidak diikuti oleh siswa kelas 3 SMP nya. Anak-anak kelas 3 SMP di Desa Mantar jarang yang mau mengikuti pelajaran tambahan dari Bu Guru Imbok.
Lebih parah lagi, anak-anak kelas 3 SMP itu dan orang tuanya agar bisa berhasil di ujian nasional malah pergi ke paranormal.

Akibatnya bisa ditebak, setelah ujian nasional selesai dan hasilnya diumumkan, semua anak kelas 3 SMP di Desa Mantar termasuk Minun tidak lulus ujian nasional.
Minun tentu saja sangat terpukul karena ia selalu menjadi juara kelas bahkan sering juara lomba matematika. Sebagai pelampiasan kekecewaannya, Minun nekad memanjat pohon cita-cta sendirian untuk mengambil kembali botol berisi kertas bertuliskan cita-cita yang dulu digantungkannya.
Malang bagi Minun, ia jatuh dari pohon cita-cita dan meninggal dunia.

Dengan kematian kakak yang sangat disayanginya, Amek tentu saja sangat sedih bahkan sampai jatuh sakit. Untung ada yang hal yang bisa menghibur Amek yaitu Smodeng, kuda kesayangannya masih ada dan pada saat itu ada lagi lomba balap kuda.
Amek langsung sembuh dari sakitnya dan mengikuti lomba balap kuda bersama Smodeng.

Ada lagi hal yang menggembirakan bagi Amek yaitu ketika hasil ujian nasional SD diumumkan, hasilnya Amek dan seluruh siswa kelas 6 SD di sekolahnya lulus.
Masih ada lagi sumber kegembiraan Amek, Bu Guru Imbok dengan dibantu Ketut bisa mengusahakan penyembuhan cacat bibir sumbing Amek dengan operasi.

Tiga bulan kemudian, bibir Amek sudah normal seperti anak-anak lainnya kemudian bersama 2 sahabatnya yaitu Umbe dan Acan ia berjanji akan belajar lebih giat untuk mencapai cita-citanya.

Pada bagian akhir film ini, Amek dan semua teman sekolahnya bersama Bu Guru Imbok merayakan keberhasilan mereka di ujian nasional dengan melepaskan kumbang-kumbang yang digantungi kertas bertuliskan cita-cita mereka.
Karena bibirnya sudah normal, Amek tidak malu lagi menuliskan cita-citanya. Ternyata cita-cita Amek adalah menjadi penyiar berita di televisi.





Perjuanga Hidup Seorang Anak Bocah Yang Masih Duduk Di Bangku SD
Sumber Youtube
luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com