UA-66241364-1 Sumbawa Menemukan Kembali Sejarah yang Hilang ~ LOVE SUMBAWA

Wednesday, 5 August 2015

Sumbawa Menemukan Kembali Sejarah yang Hilang

Sultan Sumbawa

4 Tahun Sultan Sumbawa

(Bagian Pertama )

Sejarah adalah kontinuitas waktu. Dalam perspektif tau dan Tana Samawa, memahami sejarah sama halnya memahami makna keberadaan Sultan Sumbawa yang memungkinkan masa silam hadir pada masa kini dan esok. ~~~~~

Begitulah, sejarah memaknai waktu. Maka, dengan mengucapkan Bismillahirrahmanirrahim. Haji Daeng Muhammad Abdurrahman Kaharuddin (Daeng Ewan) dinobatkan menjadi Sultan Sumbawa di hadapan rakyat Tana Samawa. Prosesi penobatannya berlangsung hidmat di masjid agung Nurul Huda, Sumbawa Besar, ibu kota Kabupaten Sumbawa pada 5 April 2011, bertepatan dengan hari ulang tahunnya yang ke 70.
4 Tahun Sultan Sumbawa
(Bagian Pertama )
Sejarah adalah kontinuitas waktu. Dalam perspektif tau dan Tana Samawa, memahami sejarah sama halnya memahami makna keberadaan Sultan Sumbawa yang memungkinkan masa silam hadir pada masa kini dan esok. ~~~~~
Begitulah, sejarah memaknai waktu. Maka, dengan mengucapkan Bismillahirrahmanirrahim. Haji Daeng Muhammad Abdurrahman Kaharuddin (Daeng Ewan) dinobatkan menjadi Sultan Sumbawa di hadapan rakyat Tana Samawa. Prosesi penobatannya berlangsung hidmat di masjid agung Nurul Huda, Sumbawa Besar, ibu kota Kabupaten Sumbawa pada 5 April 2011, bertepatan dengan hari ulang tahunnya yang ke 70.
penobatan sultan Sumbawa M Kaharuddin IVPenobatan Daeng Ewan sebagai Sultan Sumbawa ke 17 dengan gelar Sultan Muhammad Kaharuddin IV, dalam momentum yang tepat. Sebab, ketika sejarah tau dan Tana Samawa yang pernah tegak oleh nilai-nilai luhur yang Islami, kini semakin tergerus kemajuan zaman di tengah dinamika arus deras globalisasi yang bebas nilai.
Realitas sosial tempo dulu yang merajut kedalaman hubungan sosial antar warga berdasarkan nilai-nilai luhur “adat bersendikan syara’ dan syara’ bersendikan kitabullah”, kini nyaris mengubah sistem sosial masyarakat. Bahkan, mengubah sistem kepercayaan terhadap adat maupun tradisi yang sekian lama sudah berjalan.
Sepanjang sejarah, adat tau dan Tana Samawa merupakan sumber sistem sosial dan sistem kepercayaan, sekaligus sistem pengetahuan yang bersendikan ajaran Islam. Nilai-nilai luhur itu, sejatinya tidak lekang oleh panas dan tidak lapuk oleh hujan, karena memuat antara lain, sistem nilai yang mengatur hubungan timbal balik dengan lingkungan sosial dan alam. Bahkan, dengan supranatural pun, termasuk hal-hal gaib yang mungkin tahayul.
Jejak kesejarahan identitas diri tau Samawa, atau etnis asli Sumbawa, memang melekat dalam “adat bersendikan syara’ dan syara’ bersendikan Kitabullah”. Kini, kabur lantaran terkubur oleh kuatnya pengentalan identitas modern akibat modernisasi sebagai sebuah keniscayaan. Tapi entah karena apa, sebagian identitas diri itu berjauh jarak dengan kesadaran membangkitkan kembali semangat kolektif, demi tegaknya adat yang tidak tercabut dari akar khasanah budaya lokal tau dan Tana Samawa.
penobatan sultan sumbawa4Mungkin saja di dalam kesadaran diri kita, mengendap suatu pemaknaan bahwa adat bukanlah sebagai kerja kebudayaan. Sehingga dalam perspektif ke-Samawaan, terjadi kesenjangan antara mempertahankan identitas adat atau kebalikannya mempertahankan realitas kehidupan modern. Kesenjangan ini disebabkan kita dalam mengelola kehidupan tidak berkesungguhan menjunjung tinggi adat. Padahal, adat kita mengajarkan tentang membangun kedalaman hubungan sosial yang memuliakan sesama, tanpa melihat asal usul etnik dan status sosial.
Masih terekam dalam memori saya, ketika menyaksikan Sultan Sumbawa membaur dengan masyarakat biasa, terasa begitu rendah hati memberi penghormatan pada mereka. Peristiwa ini mengandung makna kedalaman bahwa Sultan tidak feodal, apalagi feodalis. Sultan ingin “duduk sama rendah” dan “berdiri sama tinggi” sebagai wujud kerendahan diri dalam menghormati rakyat. Makna kedalaman lainnya, Sultan ingin membaurkan penghormatan timbal balik. Seorang rakyat biasa tentu mengukur diri dengan jarak ingin jauh berada di belakang Sultan sebagai bentuk rasa hormat. Sementara Sultan, mempersilahkan rakyat “duduk sama rendah, berdiri sama tinggi” dalam berhubungan dengan dirinya yang menginginkan tanpa sekat sosial sebagai wujud penghormatan pada rakyat.
Mungkin sebagian dari kita yang sekarang hidup dalam peradaban global, tidak tersiram oleh berbagai perspektif adat tau dan Tana Samawa yang mengajarkan tentang etika, politik, bahkan kultural. Tapi dengan melihat Tana Samawa dan manusianya yang mungkin sebagian seakan melupakan adat, membangunkan kita dari kelesuan mengunci diri sekian lama akibat memandang adat sendiri secara skiptis. Suatu kekeliruan yang kemudian masuk ke dalam kesadaran kita, bahwa menegakkan adat adalah kebutuhan masa kini untuk melakoni hidup yang tengah dilanda ambivalensi dan paradoks.
penobatan sultan sumbawa ....Eksistensi adat kita adalah tegak di tengah keragaman realitas kehidupan. Tapi, sampai sekarang kita belum mampu menegakkan jati diri dengan menjunjung tinggi nilai-nilai adat. Akar sebabnya jelas, kita seakan sudah berpaling dari adat yang sarat nilai-nilai keluhuran, kesakralan dan bahkan kesaktian.
Di sinilah makna esensial keberadaan kembali Sultan Sumbawa. Yakni, memperlihatkan fungsi menjadi jembatan kultural antar warga masyarakat Tana Samawa untuk menemukan kembali roh sejarahnya yang telah lama hilang. Dengan demikian, keberadaan Sultan Sumbawa ke 17, selain dapat menyumbang pada peradaban demokratis bagi penguatan kembali nilai-nilai adat yang masih sesuai dengan perkembangan zaman, tapi juga adalah kebutuhan sejarah. ***

Penobatan Daeng Ewan sebagai Sultan Sumbawa ke 17 dengan gelar Sultan Muhammad Kaharuddin IV, dalam momentum yang tepat. Sebab, ketika sejarah tau dan Tana Samawa yang pernah tegak oleh nilai-nilai luhur yang Islami, kini semakin tergerus kemajuan zaman di tengah dinamika arus deras globalisasi yang bebas nilai.

Realitas sosial tempo dulu yang merajut kedalaman hubungan sosial antar warga berdasarkan nilai-nilai luhur “adat bersendikan syara’ dan syara’ bersendikan kitabullah”, kini nyaris mengubah sistem sosial masyarakat. Bahkan, mengubah sistem kepercayaan terhadap adat maupun tradisi yang sekian lama sudah berjalan.

Sepanjang sejarah, adat tau dan Tana Samawa merupakan sumber sistem sosial dan sistem kepercayaan, sekaligus sistem pengetahuan yang bersendikan ajaran Islam. Nilai-nilai luhur itu, sejatinya tidak lekang oleh panas dan tidak lapuk oleh hujan, karena memuat antara lain, sistem nilai yang mengatur hubungan timbal balik dengan lingkungan sosial dan alam. Bahkan, dengan supranatural pun, termasuk hal-hal gaib yang mungkin tahayul.

Jejak kesejarahan identitas diri tau Samawa, atau etnis asli Sumbawa, memang melekat dalam “adat bersendikan syara’ dan syara’ bersendikan Kitabullah”. Kini, kabur lantaran terkubur oleh kuatnya pengentalan identitas modern akibat modernisasi sebagai sebuah keniscayaan. Tapi entah karena apa, sebagian identitas diri itu berjauh jarak dengan kesadaran membangkitkan kembali semangat kolektif, demi tegaknya adat yang tidak tercabut dari akar khasanah budaya lokal tau dan Tana Samawa.

Mungkin saja di dalam kesadaran diri kita, mengendap suatu pemaknaan bahwa adat bukanlah sebagai kerja kebudayaan. Sehingga dalam perspektif ke-Samawaan, terjadi kesenjangan antara mempertahankan identitas adat atau kebalikannya mempertahankan realitas kehidupan modern. Kesenjangan ini disebabkan kita dalam mengelola kehidupan tidak berkesungguhan menjunjung tinggi adat. Padahal, adat kita mengajarkan tentang membangun kedalaman hubungan sosial yang memuliakan sesama, tanpa melihat asal usul etnik dan status sosial.

Masih terekam dalam memori saya, ketika menyaksikan Sultan Sumbawa membaur dengan masyarakat biasa, terasa begitu rendah hati memberi penghormatan pada mereka. Peristiwa ini mengandung makna kedalaman bahwa Sultan tidak feodal, apalagi feodalis. Sultan ingin “duduk sama rendah” dan “berdiri sama tinggi” sebagai wujud kerendahan diri dalam menghormati rakyat. Makna kedalaman lainnya, Sultan ingin membaurkan penghormatan timbal balik. Seorang rakyat biasa tentu mengukur diri dengan jarak ingin jauh berada di belakang Sultan sebagai bentuk rasa hormat. Sementara Sultan, mempersilahkan rakyat “duduk sama rendah, berdiri sama tinggi” dalam berhubungan dengan dirinya yang menginginkan tanpa sekat sosial sebagai wujud penghormatan pada rakyat.

Mungkin sebagian dari kita yang sekarang hidup dalam peradaban global, tidak tersiram oleh berbagai perspektif adat tau dan Tana Samawa yang mengajarkan tentang etika, politik, bahkan kultural. Tapi dengan melihat Tana Samawa dan manusianya yang mungkin sebagian seakan melupakan adat, membangunkan kita dari kelesuan mengunci diri sekian lama akibat memandang adat sendiri secara skiptis. Suatu kekeliruan yang kemudian masuk ke dalam kesadaran kita, bahwa menegakkan adat adalah kebutuhan masa kini untuk melakoni hidup yang tengah dilanda ambivalensi dan paradoks.

Eksistensi adat kita adalah tegak di tengah keragaman realitas kehidupan. Tapi, sampai sekarang kita belum mampu menegakkan jati diri dengan menjunjung tinggi nilai-nilai adat. Akar sebabnya jelas, kita seakan sudah berpaling dari adat yang sarat nilai-nilai keluhuran, kesakralan dan bahkan kesaktian. Di sinilah makna esensial keberadaan kembali Sultan Sumbawa. Yakni, memperlihatkan fungsi menjadi jembatan kultural antar warga masyarakat Tana Samawa untuk menemukan kembali roh sejarahnya yang telah lama hilang. Dengan demikian, keberadaan Sultan Sumbawa ke 17, selain dapat menyumbang pada peradaban demokratis bagi penguatan kembali nilai-nilai adat yang masih sesuai dengan perkembangan zaman, tapi juga adalah kebutuhan sejarah.

Sumber: http://pulausumbawanews.net/index.php/2015/08/05/menemukan-kembali-sejarah-yang-hilang/



0 comments:

Post a Comment

luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com