UA-66241364-1 Masihkah ada Cinta di Hatimu, Oh Indonesia? ~ LOVE SUMBAWA

Sunday 9 August 2015

Masihkah ada Cinta di Hatimu, Oh Indonesia?

Foto: Monas, Indonesia

"MASIHKAH ADA CINTA DIHATIMU"
Sepintas ini seperti syair lagu, tapi memang, itu memang penggalan dari bait lagu. Tapi yang saya maksud disini adalah dalam konteks kekinian dan kedisinian kita, tentang sebuah negara yang bernama “INDONESIA”. Siapa dari pembaca yang sudah bisa menjawab masih adakah cinta dihatimu untuk Indonesia?? Dengan cara apa dan berapa kadarnya yang tersisa...? Bagaimana Ku tidak cinta, wong Indonesia cantik nan elok nian, kaya lagi. Lihat saja lautnya, ibarat sambil menyelam minum air, memungut mutiara, ketemu dengan puteri duyung. Kemudian saking banyak pulaunya jadi sekali dayung dua, tiga empat ribuan pulau terlampaui. Itulah mengapa, manusia-manusia “Ber-uang” dengan “ pelet kapitalnya” datang menggagahi Indonesiaku. Bumi dimana tempat kita dilahirkan, sama sama dibesarkan, bahkan nantinya tempat kita sama sama dikuburkan. Teringat indah masa kecilku dulu, sangat menyenangkan sekali bila musim hujan datang. Bisa leluasa menyusuri pinggir jalan sambil main genangan kecil air hujan yang berwarna susu kecoklatan, hanya berbekal sedia payung sebelum hujan. Tapi sekarang ketika musim hujan datang, bekal sederhana itu saja tidak cukup. Kalau sekarang pepatah itu sudah tidak berfungsi lagi. Tapi sedia payung, pelampung, perahu karet, tikar, tenda, selimut, pembalut, mie instan, obat-obatan sebelum hujan dan ini jadi agenda rutin outbond tahunan.

Dilain sisi, para pihak yang semestinya saling bekerjasama untuk menanganai banjir justru saling menuding, ini ulah siapa dan siapa. Sudahlah..ini masalah kita, dari kita oleh kita dan untuk kita. Dalam Alqur an telah banyak menasehati kita mengapa bencana ini bisa terjadi salah satunya dalam surat Ar Rum ayat 41-42 yang artinya : “Telah tampak kerusakan di darat dan dilaut disebabkan perbuatan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). Katakanlah : Adakanlah perjalanan di muka bumi dan perlihatkanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang dulu. Kebanyakan dari mereka itu adalah orang-orang yang mempersekutukan (Allah).” (QS Ar Rum : 41-42).

Semoga belum luput dari ingatan kita, bahwa sepanjang pemerintahan Orde Baru, individu ataupun swasta bisa mendapatkan hak yang diberikan oleh penguasa pada waktu itu untuk menguasai dan mengeksploitasi potensi-potensi sumber daya alam seperti tambang batubara, emas, tembaga, hutan, minyak dan gas bumi dsb. Untuk sektor kehutanan, sebagai contoh, menurut laporan Warta Ekonomi (Agustus, 1998), sebagian besar hutan di Indonesia sampai sebelum reformasi, sudah dikuasai oleh dua belas (12) grup besar melalui 109 perusahaannya. Diantaranya, Grup Kayu Lapis milik Hunawan Widjajanto menguasai 3,5 juta hektar HPH, menduduki tempat teratas. Urutan selanjutnya adalah Grup Djajanti Djaja milik Burhan Uray yang menguasai 2,9 juta hektar, Grup Barito Pacific milik Prajogo Pangestu memegang 2,7 hektar, Grup Kalimanis milik Bob Hasan menguasai 1,6 juta hektar, PT Alas Kusumah Group menguasai 1,2 juta hektar, Sumalindo Group dengan luas 850.000 hektar, PT Daya Sakti Group dengan luas 540.000 hektar, Raja Garuda Mas Group dengan luas 380.000 hektar dan seterusnya. Dengan pola pengelolaan yang relatif tetap, kepemilikan HPH seperti tersebut di atas diyakini hingga kini belum banyak berubah. Meski dalam kontrak perjanjiannya tidak sampai menguasai sumber daya alam dalam bentuk hak milik, namun yang berhak untuk memiliki hasil bersih dari sumber daya alam yang telah dieksploitasi tersebut tetaplah para pemegang sahamnya, setelah dikurangi untuk biaya produksi, pajak dan gaji buruh. Sebagai contoh, menurut laporan Walhi yang diterbitkan tahun 1993, rata-rata hasil hutan di Indonesia setiap tahunnya yang ketika itu adalah 2,5 milyar US Dollar (kini diperkirakan mencapai sekitar 7 – 8 milyar US dollar -- 10 Februari 2001). Dari hasil sejumlah itu, yang masuk ke dalam kas negara hanya 17 %, sedangkan sisanya yaitu sebesar 83 % masuk ke kantong pengusaha HPH (Sembiring, 1994). Dan pada kenyataannya pula, para pengusaha itu ternyata mengeksploitasi hutan secara membabi buta. Bila untuk mendapatkan HPH tersebut diperlukan biaya, termasuk untuk menyuap para pejabat terkait, sebagai pengusaha, mereka berkepentingan untuk dapat mengembalikan biaya yang dikeluarkan itu secepat mungkin dengan segala cara. Sehingga terjadilah eksploitasi hutan secara semena-mena. Dan pernah suatu hasil penelitian bahwa eksploitasi hutan melalui pola HPH ternyata telah menimbulkan kerusakan lebih dari 50 juta hektar. Mulain dari sinilah terjadi transaksi

Penggadaian hutan Indonesia dengan mengabaikan segala aspek kelestarian dan fungsi sosial hutan. Inilah proses pembabatan hutan tropis di Indonesia melalui “Tebang Habis Indonesia” (THI). Akhirnya, rakyat yang memiliki hutan itu tidak kebagian apa-apa. Kini setelah puluhan juta hutan dibabat habis, rakyat sudah harus terus menanggung derita akibat hutang negara yang akan terus diwariskan ke anak cucunya ditambah lagi bonus wisata rekreasi “OUTBOND BANJIR BANDANG” setiap tahunnya. Ohh,, masih adakah Cinta dihatimu..?

Dalam bidang pertambangan, Indonesia juga dikenal sebagai negara kaya. Dengan besarnya potensi tambang ditambah aturan-aturan yang menguntungkan, Indonesia dengan mudah menarik investor asing untuk menanamkan modalnya. Sementara royalti, pajak maupun deviden yang diterima pemerintah tidaklah cukup untuk membiayai dampak kerusakan maupun bencana yang diakibatkan. Menurut WALHI, kontribusi pertambangan terhadap perusakan alam itu dapat berdampak langsung Bahkan kerusakan yang dihasilkan bisa sampai 20 persen dari tanah yang mereka kelola. Dan luar biasa hebatnya lagi, perusahaan tambang ini bahkan mampu mempengaruhi PEMDA untuk menyesuaikan aturan soal pelestarian alam sesuai dengan kebutuhannya. Inilah yang bisa disebut dalam istilah “ Andang – andang, lebih ampuh dari undang-undang”.

Demikianlah kenyataannya, karena perilaku kapitalis memang tak dapat dipisahkan dari persepsi ideologi kapitalisme, yang selalu mementingkan kepentingan diri sendiri dalam setiap aktivitas hidupnya. Mereka tak akan peduli, walaupun akibatnya menimbulkan, kerusakan lingkungan, gejolak sosial, dan kerugian lainnya. Yang penting diri sendiri untung. Itulah prinsip mengutamakan kepentingan sendiri (self interest) gaya kapitalisme yang sejak dulu sudah dicanangkan oleh Adam Smith (1723-1790), Bapak Kapitalisme. Adam Smith dalam bukunya The Wealth of Nations (1776) berkata : “Bukanlah dari kemurahan hati tukang daging, tukang bir, atau tukang roti, kita mengharapkan mendapat makanan; melainkan dari penghargaan mereka atas kepentingan diri mereka masing-masing. Kita camkan dalam diri kita, bahwa bukanlah dari rasa kemanusiaan, melainkan dari rasa cinta terhadap diri sendiri; dan tak akan kita berbicara kepada mereka mengenai kebutuhan-kebutuhan kita bersama, melainkan atas dasar laba yang bisa mereka raih.” (Adam Smith, The Wealth of Nations, vol.II (London : J.M. Dent and Sons Ltd, 1960).

Oleh: Azis Satria Putra, SP.
081915898229
 


0 comments:

Post a Comment

luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com